Terungkapnya kasus mafia pajak beberapa waktu yang lalu, memberi sinyal pada kita bahwa, reformasi birokrasi yang sedang digulirkan belum lah memenuhi harapan.
Dirjen Pajak sebagaii pilot project reformasi birokrasi, justru menjadi pintu pertama yang memberikan gambaran pada kita bahwa di Negara ini korupsi masih menjadi “sesuatu yang biasa”.
Walaupun sudah ada KPK sejak tahun 2003 dan berbagai satgas yang dibentuk oleh Presiden SBY untuk memberantas korupsi, nyatanya korupsi malah menguak dari tempat yang selama ini di gadang-gadang menjadii contoh keberhasilan reformasi birokrasi, apalagi Departemen Keuangan dan jajarannya (termasuk Dirjen Pajak) selalu diklaim sebagai institusi yang menerapkan reward dan punishment, serta proses rekrutmen yang transparan dan pejabatnya diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas.
Jika keberhasilan reformasi yang dimaksud adalah memberikan pelayanan yang baik, maka kita semua akan setuju. Tentu saja, bukan cuma pelayanan yang baik yang menjadi tujuan dari reformasi birokrasi.
Kasus Gayus hanyalah puncak gunung es korupsi di Dirjen Pajak dan Indonesia pada umumnya. Menilik kasus Gayus, sesungguhnya mafia pajak “wajar” saja terjadi atau sudah ada dari dulu, karena melihat skema atau alur pelaporan dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak pada Dirjen Pajak, hampir disetiap tahapan rentan terjadinya penyimpangan.
Lihat saja, mulai dari Wajib Pajak menyampaikan laporan pajaknya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang di tunjuk, peluang penyimpangan sangat besar terjadi. Penyimpangan itu (suap) bisa saja dari inisiatif Wajib Pajak (biasanya melalui konsultan pajak) atau dari Account Representatif (AR) di Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk.
Pada tahap ini, Wajib Pajak biasanya melakukan komunikasi yang intensif dengan Account Representatif. Komunikasi ini bisa melaluii email, telepon atau bertatap muka. Selama proses ini biasanya berpeluang terjadi penyimpangan (suap).
Karena terjadinya suap, biasanya dilakukan oleh para pihak yang sudah “saling percaya”. Proses “saling percaya” ini biasanya terbangun karena adanya komunikasi yang intensif.
Beberapa hasil riset memang memperlihatkan bahwa pada tahapan ini perilaku menyimpang (suap) sudah jarang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya target penerimaan pajak yang dibebankan pada masing-masing Account Representatif.
Jika target tersebut sudah terpenuhi maka, Account Representatif bisa saja melakukan kongkalikong dengan Wajib Pajak karena tidak ada sistem pengawasan yang melekat dari Dirjen Pajak. Setahu penulis, sistem pengawasan hanya menggunakan sistem rolling Account Representatif secara periodik (2 tahun).
Namun, hasil pengamatan yang ada, sistem ini pun tidak jalan, masih banyak Account Representatif yang masih menangani Wajib pajak yang sama lebih dari 2 tahun.
Apabila Wajib Pajak tidak bisa ”membeli” Account Representatif, maka proses selanjutnya Wajib Pajak bisa menolak Laporan Pajak Pembetulan yang diterbitkan oleh Account Representatif untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bagian pemeriksaan.
Pada proses ini dilakukan pemeriksaan baik materiil maupun formil.
Pada prose pemeriksaan ini, Wajib pajak dan pemeriksa juga berpeluang melakukan tindakan menyimpang. Suap sangat berpotensi terjadi karena memang pada tahapan ini pun,tidak ada sistem pengawasan yang melekat pada aparatur Pajak yang melakukan pemeriksaan.
Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representatif tidak dijadikan rujukan dalam melakukan pemeriksaan.
Pada dua tahapan ini (Account Representatif dan Pemeriksaan), ada kecenderungan dari wajib Pajak untuk melakukan opsi menolak hasil penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan. Dengan menolak hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan Pajak akan diserahkan pada Lembaga Pengajuan Keberatan. Lembaga ini ada pada Kantor wilayah dan Kantor Pusat.
Artinya jika Wajib pajak ”gagal” menyuap pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak dimana Account Representatif dan Pemeriksa berada, maka Wajib pajak masih memiliki peluang melakakukan penyuapan pada tingkat kantor wilayah dan Pusat dimana Lembaga Pengajuan Keberatan tersebut bernaung. Pada lembaga ini lah Gayus H. Tambunan bekerja sebagai penelaah.
Modus mafia pajak pada lembaga ini biasanya dimulai dari penelaahan yang tidak komprehensif, dalil, pasal dan data yang di buat sumir, tetapi hasil penelaahan tetap sesuai dengan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap sebelumnya di Kantor Pelayanan Pajak.
Sembari melakukan penelaahan yang semu, aparatur pajak dan wajib pajak sudah melakukan komunikasi dengan hakim-hakim yang ada di Pengadilan Pajak. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka menyusun majlis hakim yang akan menangani perkara perselisihan pajak yang sedang dilakukan penelaahan.
Karena sudah bisa dipastikan, hasil dari Lembaga Pengajuan Keberatan Pajak akan di tolak oleh Wajib Pajak (yang sudah bekerjasama dengan Penelaah di Lembaga Pengajuan Keberatan, jangan heran biasanya aparatur pajak sendiri yang menyarankan agar menolak hasil pemeriksaan dan penelaahan), dengan demikian kasus perselisihan pajak tersebut sudah pasti akan masuk ke Pengadilan Pajak.
Para penelaah biasanya sudah memiliki jaringan dengan majlis hakim dii Pengadilan Pajak yang bisa di suap. Sehingga tak heran, hampir laporan 80% perkara yang diajukan oleh Dirjen Pajak selalu mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak.
Melihat alur perkara perselisihan pajak, maka hampir disetiap tahapan berpotensi terjadinya penyimpangan. Potensi ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak kepada aparaturnya.
Sementara di satu sisi aparatur pajak di beri renumerasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya. Mestinya, pemberian renumerasi haruslah di iringi dengan pembangunan sistem pengawasan yang baik, pembinaan pegawai secara terus menerus, serta melakukan integrasi sistem kerja perpajakan dengan sistem pengawasan internal, misalnya KPK, Kepolisian dan lain-lain. Selain itu, sudah saatnya di susun aturan dan kode etik yang diterapkan pada kantor Konsultan Pajak.
Dan yang terpenting adalah semua proses tersebut mestinya memberi peluang dan ruang yang cukup untuk publik melakukan pengawasan. Jika tidak, maka mafia Pajak akan terus menggerogoti sekujur tubuh Dirjen Pajak.
Jika tidak ada langkah-langkah yang serius dan terukur dalam perbaikan sistem pengawasan di Dirjen Pajak, jangan heran beberapa waktu yang lalu PERC Hongkong menetapkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia. Dan status itu sudah pasti akan terus kita sandang jika tidak ada perbaikan yang signifikan.
sumber: Vivanews
Dirjen Pajak sebagaii pilot project reformasi birokrasi, justru menjadi pintu pertama yang memberikan gambaran pada kita bahwa di Negara ini korupsi masih menjadi “sesuatu yang biasa”.
Walaupun sudah ada KPK sejak tahun 2003 dan berbagai satgas yang dibentuk oleh Presiden SBY untuk memberantas korupsi, nyatanya korupsi malah menguak dari tempat yang selama ini di gadang-gadang menjadii contoh keberhasilan reformasi birokrasi, apalagi Departemen Keuangan dan jajarannya (termasuk Dirjen Pajak) selalu diklaim sebagai institusi yang menerapkan reward dan punishment, serta proses rekrutmen yang transparan dan pejabatnya diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas.
Jika keberhasilan reformasi yang dimaksud adalah memberikan pelayanan yang baik, maka kita semua akan setuju. Tentu saja, bukan cuma pelayanan yang baik yang menjadi tujuan dari reformasi birokrasi.
Kasus Gayus hanyalah puncak gunung es korupsi di Dirjen Pajak dan Indonesia pada umumnya. Menilik kasus Gayus, sesungguhnya mafia pajak “wajar” saja terjadi atau sudah ada dari dulu, karena melihat skema atau alur pelaporan dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak pada Dirjen Pajak, hampir disetiap tahapan rentan terjadinya penyimpangan.
Lihat saja, mulai dari Wajib Pajak menyampaikan laporan pajaknya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang di tunjuk, peluang penyimpangan sangat besar terjadi. Penyimpangan itu (suap) bisa saja dari inisiatif Wajib Pajak (biasanya melalui konsultan pajak) atau dari Account Representatif (AR) di Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk.
Pada tahap ini, Wajib Pajak biasanya melakukan komunikasi yang intensif dengan Account Representatif. Komunikasi ini bisa melaluii email, telepon atau bertatap muka. Selama proses ini biasanya berpeluang terjadi penyimpangan (suap).
Karena terjadinya suap, biasanya dilakukan oleh para pihak yang sudah “saling percaya”. Proses “saling percaya” ini biasanya terbangun karena adanya komunikasi yang intensif.
Beberapa hasil riset memang memperlihatkan bahwa pada tahapan ini perilaku menyimpang (suap) sudah jarang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya target penerimaan pajak yang dibebankan pada masing-masing Account Representatif.
Jika target tersebut sudah terpenuhi maka, Account Representatif bisa saja melakukan kongkalikong dengan Wajib Pajak karena tidak ada sistem pengawasan yang melekat dari Dirjen Pajak. Setahu penulis, sistem pengawasan hanya menggunakan sistem rolling Account Representatif secara periodik (2 tahun).
Namun, hasil pengamatan yang ada, sistem ini pun tidak jalan, masih banyak Account Representatif yang masih menangani Wajib pajak yang sama lebih dari 2 tahun.
Apabila Wajib Pajak tidak bisa ”membeli” Account Representatif, maka proses selanjutnya Wajib Pajak bisa menolak Laporan Pajak Pembetulan yang diterbitkan oleh Account Representatif untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bagian pemeriksaan.
Pada proses ini dilakukan pemeriksaan baik materiil maupun formil.
Pada prose pemeriksaan ini, Wajib pajak dan pemeriksa juga berpeluang melakukan tindakan menyimpang. Suap sangat berpotensi terjadi karena memang pada tahapan ini pun,tidak ada sistem pengawasan yang melekat pada aparatur Pajak yang melakukan pemeriksaan.
Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representatif tidak dijadikan rujukan dalam melakukan pemeriksaan.
Pada dua tahapan ini (Account Representatif dan Pemeriksaan), ada kecenderungan dari wajib Pajak untuk melakukan opsi menolak hasil penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan. Dengan menolak hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan Pajak akan diserahkan pada Lembaga Pengajuan Keberatan. Lembaga ini ada pada Kantor wilayah dan Kantor Pusat.
Artinya jika Wajib pajak ”gagal” menyuap pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak dimana Account Representatif dan Pemeriksa berada, maka Wajib pajak masih memiliki peluang melakakukan penyuapan pada tingkat kantor wilayah dan Pusat dimana Lembaga Pengajuan Keberatan tersebut bernaung. Pada lembaga ini lah Gayus H. Tambunan bekerja sebagai penelaah.
Modus mafia pajak pada lembaga ini biasanya dimulai dari penelaahan yang tidak komprehensif, dalil, pasal dan data yang di buat sumir, tetapi hasil penelaahan tetap sesuai dengan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap sebelumnya di Kantor Pelayanan Pajak.
Sembari melakukan penelaahan yang semu, aparatur pajak dan wajib pajak sudah melakukan komunikasi dengan hakim-hakim yang ada di Pengadilan Pajak. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka menyusun majlis hakim yang akan menangani perkara perselisihan pajak yang sedang dilakukan penelaahan.
Karena sudah bisa dipastikan, hasil dari Lembaga Pengajuan Keberatan Pajak akan di tolak oleh Wajib Pajak (yang sudah bekerjasama dengan Penelaah di Lembaga Pengajuan Keberatan, jangan heran biasanya aparatur pajak sendiri yang menyarankan agar menolak hasil pemeriksaan dan penelaahan), dengan demikian kasus perselisihan pajak tersebut sudah pasti akan masuk ke Pengadilan Pajak.
Para penelaah biasanya sudah memiliki jaringan dengan majlis hakim dii Pengadilan Pajak yang bisa di suap. Sehingga tak heran, hampir laporan 80% perkara yang diajukan oleh Dirjen Pajak selalu mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak.
Melihat alur perkara perselisihan pajak, maka hampir disetiap tahapan berpotensi terjadinya penyimpangan. Potensi ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak kepada aparaturnya.
Sementara di satu sisi aparatur pajak di beri renumerasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya. Mestinya, pemberian renumerasi haruslah di iringi dengan pembangunan sistem pengawasan yang baik, pembinaan pegawai secara terus menerus, serta melakukan integrasi sistem kerja perpajakan dengan sistem pengawasan internal, misalnya KPK, Kepolisian dan lain-lain. Selain itu, sudah saatnya di susun aturan dan kode etik yang diterapkan pada kantor Konsultan Pajak.
Dan yang terpenting adalah semua proses tersebut mestinya memberi peluang dan ruang yang cukup untuk publik melakukan pengawasan. Jika tidak, maka mafia Pajak akan terus menggerogoti sekujur tubuh Dirjen Pajak.
Jika tidak ada langkah-langkah yang serius dan terukur dalam perbaikan sistem pengawasan di Dirjen Pajak, jangan heran beberapa waktu yang lalu PERC Hongkong menetapkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia. Dan status itu sudah pasti akan terus kita sandang jika tidak ada perbaikan yang signifikan.
sumber: Vivanews
0 tanggapan:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda disini