Suasana Selasa pagi di kompleks perkuburan Simpang Tiga, Pekanbaru, sepi. Hanya ada beberapa pekerja tengah mempersiapkan pagar.
Nantinya, perkuburan tersebut akan diberi pagar pemisah. Sebelah untuk perkuburan warga dan sebelah untuk Taman Makam Pahlawan.
Lokomotif hitam dengan panjang 10 meter berdiri tegak mematung di tengah perkuburan. Persis di bawahnya semak belukar dan ilalang tumbuh.
Berdampingan dengan fondasi berlumut yang menggambarkan perjuangan masyarakat Riau sebelum kemerdekaan.
Salah seorang pekerja beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lokomotif tersebut. Di salah satu sudut lokomotif, ia mengambil cangkulnya dan kembali bekerja.
Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa lokomotif hitam bertulisan C3322 di depan mereka bukan hanya tempat penyimpanan barang-barang. Lokomotif tersebut menjadi saksi bisu ribuan pahlawan kerja yang terkubur tepat di bawahnya.
Tepat di depan lokomotif tersebut terdapat tugu Pahlawan Kerdja yang ditandatangani Gubernur KKDH TK I Riau R H Soebrantas Siswanto tanggal 10 November 1978.
Mereka merupakan korban romusa (kerja paksa) pada zaman penjajahan Jepang. Di mana ketika itu, pihak Jepang membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung yang terdapat di Sumatera Barat.
Pada masa itu, Riau sudah menjadi provinsi tersendiri di bawah pemerintahan Gubernur Jepang Makino Susaboro dan mempunyai pelabuhan besar.
Riau menjadi bagian dari Syonan To atau yang saat ini dikenal dengan nama Singapura.
"Jepang pada saat itu ingin menjadikan Pekanbaru menjadi pusat perbekalan perang karena berdekatan dengan Singapura dan Malaysia. Dan Singapura sendiri menjadi pusat angkatan laut," cerita sejarawan Riau, Prof Drs Suwardi MS.
Pada saat itu, lanjut dia, batu bara menjadi bahan bakar utama yang digali dari Muara Sijunjung. Oleh karena itu, Jepang membangun rel kereta api sepanjang 238 km dalam kurun waktu 25 bulan.
"Dalam buku karya HM Syafei Abdullah berjudul Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api, sepanjang pengerjaannya terdapat 600 bedeng. Tiap satu bedeng dihuni 250-500 orang," ujar Suwardi.
Romusa mayoritas didatangkan dari Jawa. Pada mulanya, mereka diiming-iming untuk belajar tentang perminyakan di Lirik, Indragiri Hulu. Namun kenyataannya, mereka malah dipaksa untuk menjadi romusa.
"Tak ketinggalan pemuda setempat juga ikut dipaksa bekerja," ujarnya.
Suwardi yang ketika itu masih berusia tujuh tahun menyaksikan langsung kerja paksa tersebut. Mereka bekerja melebihi batas maksimal serta tak diberi istirahat dan makan yang cukup.
Ia mengenang, di kampungnya yang merupakan salah satu basis romusa, Taluk Kuantan, terdapat rumah potong hewan. Tak jarang para pekerja itu datang dan makan sisa-sisa daging yang tercecer. Para romusa ini, lanjut dia, sama seperti mayat berjalan. Kurus dan berpenyakitan.
"Banyak romusa yang meninggal akibat sakit kudis dan kelaparan. Oleh Jepang pada saat itu, tidak dikuburkan secara layak. Mereka dikubur secara massal," terang Suwardi.
Jika ada romusa yang melarikan diri, maka mereka tak jarang menemui ajal di dalam hutan belantara karena diserang hewan buas.
"Mereka bukan penduduk lokal, jadi tidak tahu jalan pintas. Kalau romusa yang berasal dari Riau banyak yang selamat," ungkapnya.
Maka tak jarang, sepanjang daerah rel tersebut dikenal dengan nama Neraka Jepang karena ratusan ribu pemuda Indonesia mati akibat kekejaman Jepang.
Pada Februari 1945, jalan kereta tersebut selesai dibangun dan untuk pertama kalinya lokomotif berbahan bakar kayu dan batu bara beroperasi.
"Saat itu, masinisnya adalah Yahya, orang Indonesia. Kereta itu ditumpangi serdadu Jepang," ujar dia.
Bantalan rel dan jembatan yang terbuat dari kayu ternyata tak kuat sehingga tidak mampu menahan berat gerbong saat dilalui. Akibatnya, lintasan kereta itu runtuh.
"Rel itu tak diperbaiki karena Jepang terlebih dahulu takluk oleh sekutu," tambah dia.
Saat ini, sisa peninggalan tersebut dapat dilihat melalui lokomotif yang terdapat di kompleks pekuburan Simpang Tiga dan satunya lagi masih berada di hutan yang terdapat di Kuantan Singingi.
"Dulunya kereta api yang saat ini berada di Simpang Tiga tersebut berada di Tanjung Rhu. Pada masa Tanjung Rhu merupakan pelabuhan besar di Pekanbaru."
Namun sayangnya, bukti sejarah tersebut hanya menyisakan lokomotif tua. Rel yang sejatinya menunjukkan eksistensi kereta api di Pekanbaru telah hilang dipreteli warga.
"Lepas dari semua itu, pemerintahan saat ini seakan tidak menghargai jasa pahlawan yang sudah berupaya merintis. Jepang saja dalam kurun waktu tiga setengah tahun mampu membangun rel kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung. Sekarang malah di zaman kemerdekaan, kita tidak mampu berbuat apa-apa," keluh dia.
Saat ini yang tersisa hanya lokomotif tua dan tugu pahlawan kerja yang bertuliskan:
"Wahai kusuma bangsa
Anda diboyong Jepang penguasa bekerja, bekerja dan bekerja.
Nasibmu dihina papa, jasamu tak kulit terurai tulang.
Di sini anda rehat bersama tanpa tahu keluarga.
Tak ada nama dan upacara, namun jasamu dikenang bangsa.
Andalah pahlawan kerja.
Ya Allah keharibaan-Mu kami persembahkan mereka,
ampunilah, rahmatilah mereka."
Nantinya, perkuburan tersebut akan diberi pagar pemisah. Sebelah untuk perkuburan warga dan sebelah untuk Taman Makam Pahlawan.
Lokomotif hitam dengan panjang 10 meter berdiri tegak mematung di tengah perkuburan. Persis di bawahnya semak belukar dan ilalang tumbuh.
Berdampingan dengan fondasi berlumut yang menggambarkan perjuangan masyarakat Riau sebelum kemerdekaan.
Salah seorang pekerja beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lokomotif tersebut. Di salah satu sudut lokomotif, ia mengambil cangkulnya dan kembali bekerja.
Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa lokomotif hitam bertulisan C3322 di depan mereka bukan hanya tempat penyimpanan barang-barang. Lokomotif tersebut menjadi saksi bisu ribuan pahlawan kerja yang terkubur tepat di bawahnya.
Tepat di depan lokomotif tersebut terdapat tugu Pahlawan Kerdja yang ditandatangani Gubernur KKDH TK I Riau R H Soebrantas Siswanto tanggal 10 November 1978.
Mereka merupakan korban romusa (kerja paksa) pada zaman penjajahan Jepang. Di mana ketika itu, pihak Jepang membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung yang terdapat di Sumatera Barat.
Pada masa itu, Riau sudah menjadi provinsi tersendiri di bawah pemerintahan Gubernur Jepang Makino Susaboro dan mempunyai pelabuhan besar.
Riau menjadi bagian dari Syonan To atau yang saat ini dikenal dengan nama Singapura.
"Jepang pada saat itu ingin menjadikan Pekanbaru menjadi pusat perbekalan perang karena berdekatan dengan Singapura dan Malaysia. Dan Singapura sendiri menjadi pusat angkatan laut," cerita sejarawan Riau, Prof Drs Suwardi MS.
Pada saat itu, lanjut dia, batu bara menjadi bahan bakar utama yang digali dari Muara Sijunjung. Oleh karena itu, Jepang membangun rel kereta api sepanjang 238 km dalam kurun waktu 25 bulan.
"Dalam buku karya HM Syafei Abdullah berjudul Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api, sepanjang pengerjaannya terdapat 600 bedeng. Tiap satu bedeng dihuni 250-500 orang," ujar Suwardi.
Romusa mayoritas didatangkan dari Jawa. Pada mulanya, mereka diiming-iming untuk belajar tentang perminyakan di Lirik, Indragiri Hulu. Namun kenyataannya, mereka malah dipaksa untuk menjadi romusa.
"Tak ketinggalan pemuda setempat juga ikut dipaksa bekerja," ujarnya.
Suwardi yang ketika itu masih berusia tujuh tahun menyaksikan langsung kerja paksa tersebut. Mereka bekerja melebihi batas maksimal serta tak diberi istirahat dan makan yang cukup.
Ia mengenang, di kampungnya yang merupakan salah satu basis romusa, Taluk Kuantan, terdapat rumah potong hewan. Tak jarang para pekerja itu datang dan makan sisa-sisa daging yang tercecer. Para romusa ini, lanjut dia, sama seperti mayat berjalan. Kurus dan berpenyakitan.
"Banyak romusa yang meninggal akibat sakit kudis dan kelaparan. Oleh Jepang pada saat itu, tidak dikuburkan secara layak. Mereka dikubur secara massal," terang Suwardi.
Jika ada romusa yang melarikan diri, maka mereka tak jarang menemui ajal di dalam hutan belantara karena diserang hewan buas.
"Mereka bukan penduduk lokal, jadi tidak tahu jalan pintas. Kalau romusa yang berasal dari Riau banyak yang selamat," ungkapnya.
Maka tak jarang, sepanjang daerah rel tersebut dikenal dengan nama Neraka Jepang karena ratusan ribu pemuda Indonesia mati akibat kekejaman Jepang.
Pada Februari 1945, jalan kereta tersebut selesai dibangun dan untuk pertama kalinya lokomotif berbahan bakar kayu dan batu bara beroperasi.
"Saat itu, masinisnya adalah Yahya, orang Indonesia. Kereta itu ditumpangi serdadu Jepang," ujar dia.
Bantalan rel dan jembatan yang terbuat dari kayu ternyata tak kuat sehingga tidak mampu menahan berat gerbong saat dilalui. Akibatnya, lintasan kereta itu runtuh.
"Rel itu tak diperbaiki karena Jepang terlebih dahulu takluk oleh sekutu," tambah dia.
Saat ini, sisa peninggalan tersebut dapat dilihat melalui lokomotif yang terdapat di kompleks pekuburan Simpang Tiga dan satunya lagi masih berada di hutan yang terdapat di Kuantan Singingi.
"Dulunya kereta api yang saat ini berada di Simpang Tiga tersebut berada di Tanjung Rhu. Pada masa Tanjung Rhu merupakan pelabuhan besar di Pekanbaru."
Namun sayangnya, bukti sejarah tersebut hanya menyisakan lokomotif tua. Rel yang sejatinya menunjukkan eksistensi kereta api di Pekanbaru telah hilang dipreteli warga.
"Lepas dari semua itu, pemerintahan saat ini seakan tidak menghargai jasa pahlawan yang sudah berupaya merintis. Jepang saja dalam kurun waktu tiga setengah tahun mampu membangun rel kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung. Sekarang malah di zaman kemerdekaan, kita tidak mampu berbuat apa-apa," keluh dia.
Saat ini yang tersisa hanya lokomotif tua dan tugu pahlawan kerja yang bertuliskan:
"Wahai kusuma bangsa
Anda diboyong Jepang penguasa bekerja, bekerja dan bekerja.
Nasibmu dihina papa, jasamu tak kulit terurai tulang.
Di sini anda rehat bersama tanpa tahu keluarga.
Tak ada nama dan upacara, namun jasamu dikenang bangsa.
Andalah pahlawan kerja.
Ya Allah keharibaan-Mu kami persembahkan mereka,
ampunilah, rahmatilah mereka."
0 tanggapan:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda disini